Siami, Penjaga Warisan Tenun Tradisional di Banyuwangi

1 week ago 1
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Banyuwangi, kota yang dikenal dengan keindahan batiknya ini ternyata juga memiliki warisan budaya tenun, salah satunya adalah Siami (74), warga Desa Jambesari. Dengan ketekunan dan keahlian yang diwariskan turun-temurun, Siami menghasilkan kain tenun berkualitas tinggi yang menjadi incaran para pecinta warisan budaya dan desainer lokal.

"Namun yang melanjutkan hingga saat ini tinggal saya. Saya mulai menenun sejak sekitar tahun 1960-an," kata Siami pada Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani dalam keterangan tertulis, Jumat (13/9/2024).

Saat kunjungan Ipuk di sela kegiatan Bupati Ngantor di Desa (Bunga Desa) di Desa Jambesari, Siami tengah menenun kain pesanan dari seorang warna Desa Kemiren, Kecamatan Glagah. Desa Kemiren merupakan salah satu tempat tinggal warga Osing, suku khas Banyuwangi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kebanyakan kain tenun tua yang dimiliki warga Desa Kemiren adalah buatan warga Desa Jambewangi.

Tradisi menyediakan kain tenun berkualitas itu tetap dilestarikan oleh Siami hingga saat ini. Kain tenun buatan Siami ukurannya tak terlalu besar.

"Ini untuk gendongan. Atau biasa juga dipakai seserahan di acara pernikahan," tambah dia.

Kain gendongan yang dibuat Siami terdiri dari lima motif, yakni Keluwung, Solok, Boto, Lumut, dan Gedokan. Harga tiap lembar kain tenun buatan Siami dibanderol Rp 4 juta.

"Bisa juga kalau mau bawa benang sendiri. Kalau benangnya dari pemesan, harganya Rp 2 juta. Yang lama dari memuat kain tenun itu menata tiap benang di alat tenun ini. Butuh beberapa hari. Memang harus telaten," ucapnya.

Siami menenun dengan alat serta cara tradisional dan sederhana. Ia memakai alat penenun pangku yang terbuat dari kayu.

"Semua alat yang saya pakai adalah peninggalan ibu saya dulu. Masih saya rawat sampai saat ini," lanjutnya.

Kain tenun yang dibuatnya berukuran 300 cm x 60 cm. Kain tersebut terbuat sepenuhnya dari benang sutera. Karena proses pengerjaannya sepenuhnya manual, butuh waktu sekitar sebulan untuk membuat satu lembar kain tenun.

Setiap pagi, Siami mulai menenun sekitar pukul 08.00 WIB. Ia ulet memainkan tangan dengan alat tenun dan benang-benang sutera hingga sore hari.

"Biasanya istirahat saat zuhur. Lalu lanjut lagi sampai sore. Malamnya memintal benang sampai larut," kata Siami menjelaskan kesehariannya.

Bupati Ipuk mengapresiasi upaya Siami dalam melestarikan kain tenun buatan Banyuwangi. "Beliau ini luar biasa. Seorang pelestari tenun yang tetap konsisten hingga saat ini," katanya.

Agar kerajinan tenun tak hilang, Ipuk berencana untuk memunculkan penenun-penenun baru yang bisa belajar pada Siami, agar ada regenerasi penenun di Banyuwangi.

"Alhamdulillah, putri Mbah Siami juga mulai rajin menekuni menenun. Ini menggembirakan, semoga ada kerabat lain mengikuti," kata Ipuk.

Sejumlah desainer Banyuwangi juga banyak menggunakan kain tenun buatan Mbah Siami. "Kami minta ada kolaborasi antara dinas dengan para desainer ke depannya untuk memanfaatkan produk ini, sebagai bagian dari warisan wastra di Banyuwangi," tuturnya.

(prf/ega)

Read Entire Article