KKP Blak-blakan Soal Ekspor Pasir Laut

2 hours ago 3
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Kebijakan pemerintah membuka keran ekspor pasir laut menuai pro dan kontra di masyarakat, termasuk dari nelayan dan masyarakat pesisir. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menjelaskan hal tersebut.

Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan, Doni Ismanto mengatakan, pihaknya tidak pernah memberikan pernyataan terkait ekspor pasir laut. Kebijakan saat ini juga berbeda dengan kebijakan yang sebelumnya. Doni menegaskan tujuan kebijakan saat ini menjaga ekologi.

Kebijakan ekspor pasir laut dibuka sejalan dengan penandatanganan revisi dua Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan. Revisi ini mencakup Permendag Nomor 20 Tahun 2024 dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024 yang mengubah aturan tentang barang yang dilarang diekspor serta kebijakan ekspor.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Beda lah (dengan peraturan sebelumnya), kalau PP 26/2023 tujuannya jelas untuk menjaga ekologi dan meningkatkan daya dukung ekosistem laut," kata Doni kepada detikcom, Jumat (20/9/2024).

Berdasarkan pada pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, Doni menjelaskan hasil sedimentasi di laut adalah sedimen di laut berupa material alami yang berasal dari proses pelapukan dan erosi yang terdistribusi oleh dinamika aktivitas kelautan atau oseanografi dan terendapkan, yang bisa diambil untuk mencegah terjadinya gangguan ekosistem dan pelayaran.

Dia bilang hasil sedimentasi di laut yang dapat dimanfaatkan berupa pasir laut dan/atau material sedimen lain berupa lumpur. Jadi, dia menilai sedimentasi itu bukan selalu pasir laut. Dia pun membandingkan definisi pasir laut yang tertuang dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 441 tahun 2022 tentang Ketentuan Ekspor Pasir Laut.

"Pasir Laut adalah bahan galian pasir yang terletak di bawah wilayah perairan Indonesia yang tidak mengandung unsur mineral golongan A dan/atau golongan B dalam jumlah yang berarti ditinjau dari segi ekonomi pertambangan. Beda kan?" jelasnya.

Terkait penolakan sejumlah kalangan masyarakat, Doni menyebut penyusunan regulasi ini melibatkan partisipasi dan konsultasi publik, mulai dari warga masyarakat, pemerintah daerah, pelaku usaha, hingga akademisi. Hal ini dapat dibuktikan ke lapangan, seperti daerah Moro Demak, Kenjeran, Subang, hingga Indramayu yang mana lokasi-lokasinya memang ada sedimentasi dan mengganggu aktivitas nelayan.

"Sebuah kebijakan publik wajar ada pro contra, kami tentu menerima masukan itu. Hal yang pasti terkait konsen publik terutama soal pengawasan, kita perhatikan dengan memperkuat PSDKP dan kita sudah tekankan untuk menjaga kerusakan lingkungan dengan mewajibkan pihak yang melakukan pembersihan sedimen menggunakan sarana yang ramah lingkungan," imbuhnya.

Nelayan buka suara di halaman berikutnya.

Wanti-wanti Nelayan soal Kebijakan Ekspor Pasir Laut

Melihat hal tersebut, sejumlah asosiasi nelayan mengimbau pemerintah dalam beberapa hal. Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dani Setiawan mengatakan secara keilmuan, pembersihan sedimentasi di laut dimungkinkan, khususnya sedimentasi yang mengganggu alur pelayaran baik di laut maupun muara. Menurutnya, tanpa diekspor atau dijual pun, harus ada upaya untuk membersihkannya. Namun, dia menilai pemerintah tidak seharusnya membuka celah bagi komersialisasi pemanfaatan sumber daya laut.

"Singkatnya, Negara tidak boleh berbisnis dalam mengurus kepentingan publik dan hajat hidup orang banyak. Tapi dalam pelaksanaan, ada koridor-koridor yang perlu diperhatikan," kata Dani kepada detikcom.

Pertama, lokasi pembersihan sedimentasi tidak boleh merusak atau mengganggu lokasi penangkapan ikan (fishing ground) nelayan kecil maupun tradisional. Apalagi berlokasi di wilayah-wilayah yang menunjang perlindungan pantai, khususnya pulau-pulau kecil.

"Lokasi-lokasi tersebut merupakan wilayah sensitif yang perlu dilindungi dan tidak boleh sembarang dikeruk. Ini yang jadi soal sebenarnya, rencana zonasi dan tata ruang laut belum mengakomodasi fishing ground nelayan tradisional. Jadi, sangat rentan diambil dan dialihkan untuk kepentingan lain, termasuk penambangan pasir laut," jelasnya.

Kemudian dia memperingatkan pemerintah agar asas kemanfaatan pembersihan sedimentasi benar-benar ditujukan untuk menjawab aspek keamanan pelayaran dan pendangkalan di muara sungai. Artinya, kebijakan tersebut ditunjukkan untuk membantu dan mempermudah nelayan kecil dalam mencari ikan dan keselamatan nelayan.

Berdasarkan pengalaman yang sudah terjadi sebelumnya, dia menyebut dampak dari penambangan pasir laut terhadap nelayan kecil atau tradisional sangat besar, seperti lingkungan laut jadi tercemar dan rusak, ikan-ikan menjauh, terumbu karang serta lamun rusak.

Akibatnya, nelayan harus menangkap ikan ke lokasi yang jauh. Bahkan buruknya, tidak bisa mendapat ikan. Alhasil, meningkatkan kerentanan yang dialami nelayan akibat risiko biaya melaut yang lebih besar dan risiko kecelakaan melaut yang lebih tinggi.

"Hasil pengamatan cepat anggota KNTI khususnya di Kepulauan Riau, khususnya di Kabupaten Karimun yang akan menjadi salah satu lokasi pengerukan sedimentasi/pasir. pengurus daerah KNTI menyampaikan sangat khawatir dampaknya akan sangat besar bagi anggota kami nelayan kecil di sana, termasuk potensi bencana lingkungan (pulau yang akan tenggelam) yang akan terjadi di kawasan tersebut," terangnya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati mengatakan kebijakan tersebut sangat mengganggu nelayan. Dia bilang banyak kelompok-kelompok nelayan maupun masyarakat adat yang berada di pesisir menolak kebijakan ini.

"Kalau dari nelayan ini sangat mengganggu mereka ya karena banyak sekali kelompok-kelompok nelayan ataupun masyarakat adat yang berada di pesisir ini sangat menolak kebijakan ini," kata Susan kepada detikcom.

Dia mengaku memang pengelolaan sedimentasi laut sangat dibutuhkan. Namun, pihaknya melihat kebijakan tersebut jauh dari misi awal.

Menurutnya, kebijakan tersebut ingin meliberalisasi sumber daya yang ada di pesisir dan pulau-pulau kecil. Di mana, dampaknya merusak ekosistem.

"Ini lebih cenderung bagaimana negara mau liberalisasi sumber daya yang ada di pesisir dan pulau-pulau kecil. Jelas berdampak pada ekosistem, ekosistem rusak nanti berdampak pada pendapatan dan terancam tidak menjadi melaut ujungnya tidak bisa lagi nelayan. Ini yang mengerikan," terangnya.

Read Entire Article