INDONESIA sejatinya dipandang sebagai negara tujuan investasi yang menarik. Namun aspek kepastian dan prediktabilitas iklim usaha kerap mengganjal penanaman modal asing di dalam negeri. Karenanya diperlukan reformasi struktural dan birokrasi yang berkelanjutan untuk mengatasi permasalahan itu.
"Dengan adanya pemerintah baru, tentunya ini kesempatan untuk membangun kembali kepercayaan investor dengan membenahi aspek certainty, predictability dan efisiensi iklim usaha nasional bila kita ingin ada lebih banyak investor AS yang beralih ke Indonesia atau memprioritaskan Indonesia sebagai negara tujuan investasinya," ujar Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani saat dihubungi, Selasa (12/11).
Hal itu terkait pertemuan Presiden Prabowo Subianto dengan Anggota Korporasi USINDO di Washington DC, AS. Kepala Negara diketahui mengajak para pebisnis di Negeri Paman Sam untuk terus berinvestasi di Indonesia dan turut serta dalam pembangunan.
Shinta menilai, potensi dari masuknya aliran investasi asing pascabertemu dengan Presiden Prabowo Subianto cukup terbuka. Boleh jadi, karena pertemuan itu para pebisnis mengalami peningkatan keyakinan untuk berinvestasi di Indonesia.
"Untuk itu, yang erlu diperhatikan di sini adalah seberapa jauh presiden dapat mengubah persepsi pelaku usaha dan investor AS terhadap Indonesia, khususnya terkait certainty, predictability, efficiensi dan daya saing iklim usaha/investasi Indonesia pada era kepemimpinan beliau," kata Shinta.
Dia menerangkan, pelaku usaha AS dan negara maju pada umumnya memandang Indonesia sebagai negara tujuan investasi yang menarik. Namun diperlukan perbaikan dari beberapa aspek.
Tata kelola bisnis di Indonesia, misalnya, masih dianggap kurang transparan, kerap berubah tanpa adanya konsultasi kebijakan yang memadai, dan sempitnya ruang transisi terhadap aturan baru yang dibuat.
Selain itu, birokrasi di Indonesia dinilai masihterlalu panjang, tidak harmonis satu sama lain. Belum lagi perihal tumpang tindih dan regulasi-regulasi yang tidak konsisten diimplementasikan di lapangan.
"Keseluruhan hal itu menyebabkan biaya investasi di Indonesia menjadi tidak terprediksi, cenderung sangat mahal dan kurang kompetitif bila dibandingkan dengan negara pesaing di kawasan yang juga dilirik investor AS," pungkas Shinta. (Mir/M-3)